Pewajaran Kekacauan Ingatan

Oleh: Hilman Fathoni, @perpustaxaan

“Sampai akhir buku ini ditulis, saya masih bertanya: apa hak saya memasukkan sejarah orang lain dalam tulisan saya? Saya (seperti) mencuri kisah-kisah mereka ke dalam sebuah museum puisi yang tidak dirancang bersama.” Afrizal Malna, Kata Pengantar Prometheus Pinball.

Satu hal yang saya pikirkan setelah membaca kalimat itu adalah Perpustaxaan. Di platform tersebut, saya menghimpun berbagai informasi tentang grup musik hardcore punk dan terbitan alternatif di Indonesia. Menatanya sesuai selera saya dengan metode sederhana di google spreadsheet. Informasi-informasi ini merupakan pecahan-pecahan ingatan, tersebar di jagat maya, yang saya kumpulkan di satu tempat, dengan dalih pengarsipan. Menjadi basis data yang dapat diakses dan disebarkan lagi oleh siapa saja.

Afrizal pun sengaja memadukan ingatannya dengan peristiwa-peristiwa penting pada linimasa tertentu (1957-1997)[1], sebagai suatu “Ingatan Indeksikal” di buku ini.[2] Ia bertindak seolah sebagai pengarsip. Arsiparis yang membuat satu peta ingatan tematis: ingatannya dan ingatan bersama. Dalih sama seperti yang saya gunakan di Perpustaxaan. Namun, tentu saja formatnya berbeda. Afrizal lihai menata ingatan sebagai karya sastra, sedangkan saya hanya sebagai basis data.

Selain itu, ingatan-ingatan pada puisi-puisi di buku ini berhasil mencitrakan kesan mengingat dengan “samar.” Tidak terasa ada kesan “hafalan rumus” yang sengaja dipaksakan muncul untuk disambung-sambungkan dengan fragmen-fragmen ingatan beliau. Dengan gaya bertutur yang sangat alami, beliau mampu memaparkan bahwa ingatan-ingatan yang bisa saling muncul di tempat yang tidak semestinya adalah suatu kewajaran. Seperti bola dalam permainan pinball itu sendiri. Setelah pelatuk melempar bola, ia akan bergerak acak tak tentu arah. Bisa masuk ke lubang, bisa menabrak dinding, atau bahkan keluar dari arenanya. “Pinball effect” akan selalu muncul ketika ingatan diupayakan tersusun untuk mencapai suatu narasi.

Kita semua, saya rasa, selalu mengingat-ingat. Saat mengerjakan ujian matematika, kita mengingat-ingat rumus. Saat membeli beras, kita mengingat merek andalan. Lalu, saat kita beribadah, ingatan tentang rumus matematika dan merek beras andalan tadi sekonyong-konyong muncul. Mengacaukan barisan doa yang susah payah kita ingat-ingat. Tanpa undangan, ingatan seketika bisa muncul tidak pada tempatnya. Itu benang merah “pinball effect” yang saya tangkap, terhadap puisi-puisi di buku ini, ketika sampai (tepat) di halaman delapan puluh.

Sebagaimana Afrizal, ia selalu bisa menempatkan puisi agar tidak berhenti pada fungsi untuk dibaca sebagai tulisan. Melainkan juga bisa dilihat. Ditonton. Diapresiasi atau dinikmati layaknya karya visual. Selain secara literal mendapatkan pengalaman visual dari desain perwajahan karya tulis ini, pengalaman itu juga bisa kita dapat dari setiap fragmen ingatan Afrizal yang dituturkannya di sini. Setidaknya begitu, menurut saya.

***


[1] Afrizal memilih tahun kelahirannya (1957) sebagai titik awal penulisan ingatan dan tahun 1997 sebagai penutup. Ia menganggap tahun 1997 adalah penutup abad 20: berakhirnya perang dingin, Reformasi 1998, berakhirnya orde baru, dan berkembangnya teknologi digital.

[2] Afrizal merasa “ingatan indeksikal” merupakan poin penting dalam buku ini, bagaimana ingatan menata berbagai indeks biografis sekaligus indeks isu yang diproduksi dari masing-masing garis waktu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s