Nuraini Juliastuti

Minum kopi sebagai praktik mencuri waktu jeda bagi perempuan

Setiap kali minum kopi, saya selalu ingat dua hal. Pertama, ngopi adalah budaya baru dalam kehidupan sehari-hari saya. Kedua, kopi dan ngopi adalah materi dan praktik yang dikenalkan oleh Nenek dan Ibu. Sebagai budaya baru, saya selalu memandang minum kopi lebih dari sekedar minum kopi. Ia adalah sesuatu yang lain, yang akhirnya saya perlukan untuk mencapai sesuatu yang lain lagi. Dalam kasus saya, meminum kopi tidak muncul karena kebutuhan jasmani. Awalnya tubuh saya tidak membutuhkan kopi. Kebutuhan akan kopi muncul karena saya membudayakan minum kopi. Makna budaya, mengikuti Raymond Williams, adalah sesuatu yang bisa lahir karena kebiasaan yang dilatihkan dan dilakukan secara terus menerus. Tetapi kopi dan minum kopi juga bagian dari kenangan saya atas Nenek dan Ibu. Ia tinggal kenangan karena mereka berdua sudah tidak ada lagi bersama kita di sini. Minum kopi mungkin juga adalah kebiasaan yang saya tiru dari Nenek dan Ibu. Saya berpikir tentang makna kata ‘kopi’ yang terdengar seperti terjemahan Bahasa Indonesia atas kata Bahasa Inggris ‘copy’ yang berarti meniru. Kopi adalah minuman sehari-hari bagi perempuan-perempuan kuat di kehidupan saya. 

Pandangan saya atas praktik minum kopi sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar konsumsi kopi, bercampur dengan kenangan dan bagaimana dua perempuan dalam kehidupan saya tersebut menjalankannya dan memasukkannya dalam keseharian hidup mereka. Selanjutnya, minum kopi menjadi bagian dari amatan dan refleksi atas bagaimana meracik kopi dijalankan di keluarga saya (juga keluarga Andy) dan minum kopi berkembang dan ikut terjalin dalam irama kehidupan yang selalu dinamis.

Saya mulai minum kopi, dan selalu Cappucino, saat melanjutkan S2 di Amsterdam di 2007. Acara minum kopi biasanya selalu disertai dengan berbincang bersama teman, atau mengerjakan tugas-tugas kuliah. Di periode awal pertemuan saya dengan kopi, saya tidak pernah minum kopi di rumah. Ia selalu dilakukan di kafe. Minum kopi identik dengan keluar rumah. Mungkin karena lahir dalam kondisi di perantauan, minum kopi seperti keluar dari paksaan untuk menemukan cara baru dalam bekerja, meninggalkan cara dan ruang lama yang biasa. Pergi ke kafe dan minum kopi adalah cara baru yang secara sengaja saya kembangkan untuk mendapatkan waktu untuk belajar dan menyenangkan diri sendiri. Dalam kasus saya, menyenangkan diri sendiri merupakan identifikasi tepat untuk minum kopi. Ia adalah sesuatu yang rekreasional. Terlebih karena awalnya saya tidak pernah, bahkan tidak pernah terpikir untuk, membuat kopi sendiri.

IMG_20191027_104823
Salah satu suasana minum kopi — minum kopi sambil menemani Cahaya menggambar.

Meskipun kopi adalah minuman yang biasa di rumah saya, karena ia adalah minuman sehari-hari Nenek dan Ibu, saya tidak pernah tertarik ikut meminumnya. Saat itu rasanya kopi kurang menarik. Mungkin saya terpengaruh dengan tekanan teman sebaya yang umumnya berpendapat bahwa “kopi adalah minuman orang tua”; sesuatu yang ada benarnya mengingat di rumah saya, kopi adalah minuman orang tua. Kecuali bahwa dalam perbincangan anak muda saat itu, kopi dibicarakan sebagai minuman yang biasanya diminum oleh orang tua, dan meminumnya akan beresiko membuat kita tampak tua. 

Minuman yang mewarnai masa remaja dan kuliah adalah coca cola dan es teh tawar. Dalam kepala saya saat itu, minum kopi juga identik dengan minuman para bapak. Ini mungkin adalah pandangan yang salah, tetapi terasa sah, terutama dengan bekal pengalaman menyaksikan bagaimana para tetangga (para bapak) nongkrong di warung kopi di dekan gang rumah tiap pagi, siang, sore, atau malam. Bapak saya, tentu saja, adalah salah satu dari sekian banyak para bapak di kampung dimana saya tumbuh, yang aktif nongkrong di warung depan gang rumah. Betapa anehnya, sekarang baru saya berpikir demikian, bahwa saya tidak pernah merujuk Bapak sebagai seseorang yang punya pengaruh dalam tradisi minum kopi dalam kehidupan saya. Apakah hal ini karena saya tidak pernah melihat Bapak minum kopi di rumah? Untuk sementara saya akan bertahan dengan teori bikinan saya itu. Minum kopi bagi Bapak mungkin adalah praktik yang terhubung dengang nongkrong dan berbincang bersama para tetangga dan sahabat di kampung. Suatu elemen yang nantinya saya adopsi dalam praktik minum kopi dalam kehidupan saya yang dewasa. 

Nenek dan Ibu tidak pernah minum kopi di luar rumah. Peristiwa minum kopi bagi mereka dibatasi oleh ruang domestik — rumah dan ruang-ruang kecil lain didalamnya. Saya mengingat Nenek yang minum kopi di meja kecil dekat dapur, sambil mendengarkan radio yang memutar siaran dangdut dari Radio Rajawali. Saya mengingat Ibu yang minum kopi sambil duduk di lantai ruang tamu, sambil menonton sinetron entah apa di televisi. Keduanya tampak selalu minum kopi sambil mengerjakan sesuatu, disela-sela mengerjakan sesuatu, atau menuju mengerjakan aktivitas lain. Nenek minum kopi sambil melipat aneka plastik belanjaan dalam bentuk segitiga-segitiga kecil, lalu menatanya dengan rapi dalam kotak. Lain waktu ia tampak sedang minum kopi sambil membongkar aneka kotak kardus bekas, melipatnya jadi datar, dan menata di lemari sebagai persediaan jika diperlukan. Ibu selalu minum kopi sambil berkoordinasi tentang aneka kegiatan terkait bisnis katering dengan para pegawai. Sejak memasuki masa pensiun sebagai kepala sekolah di 2009, Ibu memilih fokus dengan mengelola bisnis katering. Ia minum kopi sambil menulis daftar belanjaan panjang dan mengatur pengiriman pesanan makanan ke para pelanggan. Yang paling sering dilakukannya, dan paling sering saya pikirkan saat ini terutama setelah Ibu meninggal, adalah bahwa Ibu minum kopi untuk membuatnya terjaga, tidak tidur, disela-sela membuat pesanan ratusan kue lumpur (dengan kismis dan kelapa diatasnya), bikang, atau semar mendem. 

Satu hal yang saya perhatikan adalah durasi waktu minum kopi mereka tidak pernah terlalu panjang. Minum kopi adalah aktivitas yang selalu berada disela-sela pekerjaan. Ia seperti waktu jeda, yang dalam kasus Nenek dan Ibu, ketersediaannya bergantung dari kemampuan untuk mencurinya, membuatnya ada dalam suatu hari. Lebih jauh dari itu, ia juga bergantung dari kemampuan untuk mengusahakan asupan kopi tersedia. Dengan alasan praktis, mengingat Ibu adalah seseorang yang efisien, ia selalu membeli kopi sachet dari warung atau supermarket. Ia paham bahwa kopi yang dibelinya mungkin kurang otentik. Tapi Ibu, seperti kebanyakan perempuan lain yang bekerja, selalu merasa kekurangan waktu. Menyeduh kopi sachet adalah jawaban untuk keinginan minum kopi disela kesibukan. Nenek selalu membuat kopi sendiri. Ia punya racikan kopi khusus dengan campuran irisan kelapa tua. Suatu hari nanti saya akan meniru racikan kopinya di rumah. Salah satu bayangan kenangan saya atas Nenek adalah punggungnya yang membelakangi saya, menumbuk kopi dengan tekun di dapur rumah kami yang sempit. 

Bertahun-tahun kemudian, di ruang tunggu kelas balet dan gimnastik di area Kew, Melbourne, saya duduk bersama para orang tua lain yang sedang menunggu anak-anak kami berlatih. Saya mendengar percakapan dua orang perempuan tentang minum kopi. Mereka asyik berbincang sambil minum kopi. Anak-anak mereka yang tidak ikut kelas balet sedang bermain diantara kaki-kaki mereka. Keduanya mempunyai tiga anak. Mereka berbicara tentang bagaimana mereka menantikan waktu bekerja mereka — mereka bekerja sehari sekali dalam seminggu — dan terutama waktu untuk minum kopi. Bekerja sehari seminggu, juga ngopi, semacam pelepasan sesaat, waktu jeda dari kesibukan mengurus anak dan urusan rumah. Saya terus mengingat apa yang dibicarakan kedua perempuan ini. Tiap kali mengingatnya, saya ingat kembali adegan Ibu minum kopi di depan layar televisi, sambil berpikir, dan menulis catatan, juga punggung Nenek yang membungkuk, menumbuk kopi di dapur.