Nuraini Juliastuti
Dalam bulan-bulan pertama kehadiran Cahaya dalam kehidupan kami, Andy memutuskan untuk mengganti total olahraga kick-boxing yang dia jalankan dengan lari. Sebelum periode Cahaya, Andy menjalankan kick-boxing dan lari secara rutin. Keduanya dijalankan dengan intensitas yang sama. Sesi-sesi latihan kick-boxing berlangsung di sebuah sasana, dengan arahan seorang pelatih. Latihan kick-boxing mensyaratkan keberadaan orang-orang lain yang berfungsi sebagai rekan latihan bertanding. Satu sesi latihan harus dijalankan dalam rentang waktu khusus — 2-3 jam. Lari mempunyai fleksibilitas yang cukup ideal dalam konteks kehidupan kami sebagai orang tua baru. Lari bisa dijalankan kapan saja, mengikuti jadwal pengorganisasian waktu sehari-hari. Ia bisa dijalankan sendirian, tanpa harus bergantung pada pelatih. Saya tidak mempraktikkan kick-boxing dan lari dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi saya memulai tulisan ini dengan mendeskripsikan perubahan pola olahraga Andy karena perubahan ini mempengaruhi cara kami membagi waktu domestik di rumah. Lebih jauh dari itu, dan ini lebih penting, saya selalu merasa bahwa Andy mempunyai kesadaran lebih awal untuk menyusun ulang waktu sehari-hari.

Mungkin tiap orang perlu sesuatu yang lebih besar dari dirinya untuk melakukan perubahan perspektif atas waktu. Dalam perbincangan populer, terdapat banyak pepatah, istilah, dan pernyataan, yang diciptakan untuk merujuk nilai penting dari waktu. Waktu adalah uang. Waktumu sangat berharga. Semua perlu waktu untuk menjadi dewasa dan matang. Semua adalah soal waktu. Hanya waktulah yang akan berbicara. Yang bisa dilakukan hanyalah menunggu waktu. Waktu itu seperti pencuri, atau bom yang siap meledak.
Saya perlu waktu lebih lama untuk merancang perubahan dalam menjalani waktu seiring perubahan pola hidup dengan kehadiran Cahaya. Teori saya dalam memahami hal ini adalah karena saya juga perlu waktu untuk menghadapi perubahan tubuh pascamelahirkan. Selain itu, saya juga perlu memikirkan serangkaian cara untuk memperoleh pengetahuan baru merawat bayi — bagaimana cara memandikan bayi, cara memijat bayi untuk mengatasi sembelit, dan sebagainya. Saya mengkategorikan diri saya sendiri sebagai seseorang yang sangat mudah khawatir dari hal-hal yang kecil. Beberapa butir jerawat (atau bentol-bentol kecil) di pipi Cahaya, atau Cahaya cegukan pertama kali, mampu membuat saya panik. Saya menganggap penting pengetahuan untuk mengatasi bayi menangis dan mendeteksi kemungkinan gejala-gejala aneh lewat cara apapun — bertanya ke perawat, Ibu saya, dan menelusuri Internet. Selain itu, dan ini lebih penting, saya sibuk memahami hal-hal tertentu yang tidak bisa dilakukan lagi dan kurang bisa ditoleransi. Atau jika harus dilakukan, mengikuti kata Andy, mereka harus dilakukan dengan proporsi yang seimbang. Mereka meliputi — nongkrong berlama-lama, bekerja tidak dengan pengaturan waktu yang jelas, dan memulai suatu aktivitas di waktu yang tidak sesuai dari kesepakatan semula.
Dalam upaya saya untuk melakukan retrospeksi, setidaknya ada tiga hal yang saya lakukan di periode tersebut. Pertama, saya tidak pernah mematikan laptop (supaya saya bisa menulis secara langsung tiap gagasan baru yang muncul untuk disertasi). Kedua, saya menaruh buku catatan atau buku tertentu di sisi tempat tidur (dengan alasan yang sama — supaya saya bisa mencatat pikiran-pikiran yang bersilangan di kepala, atau membaca 1-3 halaman jika memungkinkan). Ketiga, saya berinisiatif untuk memesan makanan katering untuk makan siang dan makan malam (supaya waktu memasak berkurang dan bisa digunakan untuk melakukan hal lain. Ketiganya merupakan bagian dari strategi jangka pendek, dan tidak semuanya berjalan dengan sempurna. Saya sering ikut tertidur ketika menidurkan Cahaya sehingga saya nyaris tidak pernah mengisi buku catatan di tempat tidur.
Cahaya hadir saat saya sedang menjalankan periode riset lapangan untuk proyek PhD. Hal ini memaksa saya untuk menciptakan strategi-strategi baru dalam menyelesaikan pekerjaan. Saat Cahaya berumur 6 bulan, kami kembali ke Leiden. Saya memasuki fase menulis disertasi. Andy mendorong saya untuk berangkat ke kantor pada jam 9 pagi (atau sampai di kantor pada jam 9 pagi). Saya harus sudah sampai di rumah pada jam 3 sore. Dalam rentang waktu yang tersedia dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore, saya harus membuat waktu yang tersedia menjadi produktif. Saya mencoba untuk mempraktikkan prinsip “membaca di malam hari” dan “menulis di siang hari”. Prinsip ini saya pelajari dari supervisor saat saya study S2 di Amsterdam di 2007-2008. Ini adalah prinsip sederhana yang cukup menantang untuk dilakukan. Membaca dan menulis adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Membaca adalah bagian dari proses yang harus dilakukan untuk menciptakan tulisan yang bermutu dan jernih. Tulisan yang bagus merupakan hasil eksplorasi bacaan yang beragam. Ia menunjukkan kurasi yang jitu atas teks-teks pilihan yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber referensi, tapi juga bagian dari proses dialog untuk mengartikulasikan pikiran sendiri yang otentik. Kadang-kadang, menulis mengenal kebuntuan. Dalam kasus ini, membaca menjadi semacam obat yang mengatasi kebuntuan tersebut. Proses membaca bisa berjalan dalam waktu yang lama, dan kadang-kadang, mengganggu proses menulis itu sendiri. Ini karena membaca itu mengasyikkan, sama halnya dengan membuka-buka halaman demi halaman baru di Internet, berpindah-pindah dari satu platform media sosial ke platform lain, atau mengikuti dorongan untuk menuntaskan keingintahuan akan sesuatu ke Wikipedia, dan website lain. Terdapat banyak gangguan dalam proses menulis. Menulis adalah buah ketekunan dan aksi pendisiplinan diri. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Untuk menjaga ritme menulis, dan untuk mengatasi persoalan distraksi ketika berada di depan laptop, saya mengembangkan praktik untuk tidak menulis langsung di laptop. Hal ini dilakukan untuk menghindari membuka terlalu banyak laman di Internet. Saya memilih untuk menulis di buku catatan. Saya merasa lebih fokus dengan membuka lembar demi lembar catatan harian lapangan yang saya buat selama riset lapangan, dan menulis satu paragraf, satu halaman, atau rancangan ide untuk suatu bab diatas kertas.
Memandangnya dari perspektif lebih luas, saya seperti dipaksa untuk mengidentifikasi prioritas dan membangun sensibilitas atas hal-hal yang paling mendesak. Saat itu, menulis bab-bab di disertasi adalah hal yang mendesak. Tetapi bagaimana untuk mengasuh Cahaya dan menjalankan rumah dan rumah tangga merupakan hal-hal yang juga tak kalah penting dan mendesak. Diantara keduanya, ada perspektif baru yang tumbuh pelan-pelan — bahwa ada waktu tertentu untuk melakukan sesuatu, juga ada waktu tertentu untuk berhenti dan istirahat. Selain menulis, membaca, ada belanja, memasak, menemani Cahaya bermain, membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring, dan melakukan beragam kegiatan bersama anggota keluarga. Diantara semuanya ada banyak hal terduga dan tak terduga — sakit, anak sakit, merasa lelah, ingin istirahat.
Diatas semuanya, terdapat banyak tekanan, dari dalam dan dari luar, yang menimbulkan ketegangan dan kekhawatiran telah ketinggalan atau melewatkan sesuatu. Ia lahir dari refleksi ulang-alik antara diri dan lingkungan sekitar yang bercampur dengan pikiran atas kesan orang lain terhadap diri kita. Tetapi ketinggalan sesuatu, atau dianggap melewatkan sesuatu kadang bisa muncul sebagai kesan yang diberikan oleh orang lain. Saya memulai tulisan ini dengan keinginan untuk memaknai perubahan pandangan atas waktu dan hal-hal lain terkait dengan manajemen waktu ketika Cahaya lahir. Tetapi tulisan ini lantas berkembang menjadi deskripsi atas strategi untuk mengatasi keterbatasan waktu dan membuat suatu aktivitas menjadi lebih produktif. Diantara merasa ketinggalan dan dianggap ketinggalan sesuatu, saya juga merasa dorongan untuk mampu menikmati keterbatasan waktu. Saya mulai mengembangkan cara untuk menakar apa saja yang mampu dilakukan dalam waktu singkat sesuai kerangka produktivitas. Pertanyaan lanjutan yang harus saya jawab adalah konsep dan ukuran produktivitas seperti apa yang saya anut.